Bagaimana Cara Menyikapi Penyakit yang Tidak Kunjung Sembuh?

dari alifmagz

Bagaimana Cara Menyikapi Penyakit yang Tidak Kunjung Sembuh?

Tanya:
Assalamu’alaikum wr. wb.

Pak Ustad saya mau tanya, bagaimana cara menyikapi penyakit saya yang sudah sekitar 2 tahun tidak kunjung sembuh? padahal sudah berobat kemana-mana.

[Lia Wati - via formulir pertanyaan]

Jawab:
Wa’alaikumussalam wr. wb.

Sakit yang sering dianggap oleh banyak orang sebagai penderitaan, coba sekarang kita lihat dari sudut pandang yang berbeda:

1. Sakit (penyakit) merupakan salah satu cara Allah untuk menaikkan derajat keislaman dan keimanan sekaligus untuk menghapus dosa hamba-Nya yang Muslim. Ini kita pahami dari riwayat hadits berikut. Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Tidak ada satu musibah pun yang menimpa seorang Muslim, baik berupa terkena duri atau yang lebih besar dari itu, kecuali melalui musibah itu Allah mengangkatnya satu derajat atau menghapusnya satu dosa.” Dari sisi ini, kita justru harus beryukur, di samping bersabar, apabila diuji dengan penyakit, karena dengan begitu derajat kita akan meningkat atau dosa kita akan berkurang.

2. Terkadang kita mengeluh: “Kenapa harus saya yang diberi penyakit ini, padahal saya sudah rajin beribadah? Sementara ada orang yang suka berbuat maksiat kok malah sehat wal afiat dan segar bugar?” Ibadah bukan untuk menolak penyakit. Sebab para nabi yang ibadahnya begitu sempurna pun terkena sakit juga. Jadi, kalau kita merasa suka mengeluh, cobalah sekarang kita kurangi keluhan itu. Kita mengeluh terus menerus pun penyakit belum tentu sembuh, bahkan boleh jadi bertambah parah karena perasaan tertekan kita itu.

3. Kalau kita sudah biasa menerima karunia dan rezeki Allah dengan penuh syukur, cobalah sekarang kita menerima ujian/cobaan Allah dengan penuh sabar. Sebab, Muslim yang baik, seperti kita pahami dari sebuah hadits Nabi saw., adalah Muslim yang bersyukur ketika mendapat kenikmatan dan bersabar ketika mendapat kesulitan atau musibah. Walaupun faktor-faktor yang menyebabkan kita sakit itu boleh jadi adalah hasil perbuatan kita sendiri (sering kali karena pola makan kita), tetapi tetap saja penyakit merupakan ketentuan Allah. Karena tidak ada sesuatu pun yang terjadi di muka bumi ini yang berada di luar ketentuan Allah. Oleh karena itu, menerimanya justru merupakan sikap yang jauh lebih baik daripada mengeluhkannya. Tentu menerima di sini bukan berarti pasrah tanpa upaya berobat. Upaya untuk berobat tetap harus dilakukan.

4. Selain kita yang manusia biasa ini, para nabi pun –yang jelas-jelas manusia pilihan Allah– juga mengalami sakit. Nabi Ayub a.s. bahkan pernah mengalami sakit selama 18 tahun. Bukan hanya itu, dalam banyak literatur tafsir disebutkan bahwa Nabi Ayub sebelumnya adalah orang kaya raya dan banyak anak. Tetapi semua harta dan anak itu diambil oleh Allah. Artinya, Nabi Ayub bukan hanya “kehilangan” kesehatannya, tetapi juga harta dan keluarganya. Tetapi itu semua tidak mengurangi kesabarannya dan ketabahannya untuk terus berzikir dan memohon rahmat Allah. Sekujur tubuhnya sakit, tinggal dua organ tubuhnya yang masih sehat, hati dan lidahnya. Kedua organ tubuh yang tersisa dan masih sehat itu justru ia gunakan untuk berzikir kepada Allah.

5. Masih dalam kisah Nabi Ayub r.a., istri sang nabi yang sangat setia merawat penyakitnya pernah menyampaikan kepadanya, “Wahai Ayub! Kalau engkau memohon kepada Tuhanmu, pasti engkau akan disembuhkan.” Nabi Ayub lalu menjawab, “Aku sudah hidup selama 70 tahun dalam keadaan sehat. Maka kalau aku sabar selama 70 tahun itu masih sangat sedikit bagi Allah?” Mendengar jawaban itu, sang istri sangat terkejut.

Untuk diketahui, sang istri bekerja kepada orang dengan mendapatkan upah yang dimanfaatkan untuk memberi makan sang suami. Ini jelas merupakan bimbingan agar keluarga orang yang sedang menderita sakit seharusya juga menunjukkan kesetiaan pengabdiannya dalam merawat dan mengobati si sakit. Ini pun dapat menjadi faktor penting dalam memberikan sikap optimis kepada si sakit sehingga memudahkan penyembuhan.

Demikian, wallahu a’lam.

[Muhammad Arifin, Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an]

Komentar